Home

Senin, 13 Juni 2011

Ketika Keadilan Diabaikan

Dalam beberapa kasus korupsi, banyak pelaku justru dihukum ringan atau
dibebaskan. Banyak penyidikan atas mereka yang dicurigai melakukan korupsi
dihentikan di tengah jalan dengan aneka alasan. Tak sedikit pelanggaran hak
asasi manusia yang pelakunya menikmati impunity (bebas dari sanksi hukum).

Sudah lama sistem peradilan di Indonesia dipertanyakan. Kepercayaan terhadap
integritas penegak hukum ada pada titik terendah. Jangan-jangan sistem hukumnya
pun bermasalah. Adakah kaitan antara tekanan pada kepastian hukum dan
kecenderungan mengabaikan rasa keadilan masyarakat?

Mitos atau realitas?

Mitos realisme hukum ialah adanya kepastian dalam hukum. Kepastian ini lebih
merupakan keyakinan, hukum adalah realitas yang dibuat secara sempurna. Hukum
merupakan "suatu korpus aturan yang koheren, siap diterapkan oleh hakim
terlatih dan terampil dalam deduksi silogistis sehingga dapat menemukan jawaban
yang tepat atas masalah hukum dengan penuh kepastian" (M Tebbit, 2000:25).
Padahal, realitas hukum justru tidak pasti. Masalah hukum menuntut pencarian
keseimbangan antara prinsip, kebijakan, dan asumsi yang tidak tersurat.
Pencarian keseimbangan seperti itu sulit diramalkan, alias tidak pasti.

Bukti ketidakpastian ini terlihat pada beragam tafsir hukum yang mengatur
sebuah kasus. Dalam kasus korupsi, ada yang secara nominal tidak besar, tetapi
dihukum berat. Sedangkan mereka yang melakukan korupsi segunung, dihukum
ringan, bahkan dibebaskan. Mereka yang memegang teguh keyakinan akan kepastian
hukum sering mengabaikan, bukan hanya jurang teori-praktik, tetapi juga
kesenjangan antara hukum tertulis dan interpretasi. Interpretasi hukum sebagai
korpus aturan, nyata-nyata bisa diterapkan pada kasus berlawanan, dengan aturan
yang disesuaikan, berubah dan ditemukan tiap hari di seluruh yurisdiksi di
Indonesia, bagaimana bisa kepastian hukum dijamin?

Sulit menjelaskan kepada mereka yang memegang teguh kepastian hukum, keyakinan
lebih merupakan mitos daripada realitas. Jangan-jangan kepastian hukum hanya
merupakan suatu wishful thinking yang dianggap sebagai realitas. Bukan mau
merendahkan makna kepastian hukum, tetapi mau membongkar, dalam kepastian hukum
masih terkandung klaim kesahihan interpretasi berbagai pihak.

Formalisme hukum

Menurut Tebbit, ideal kepastian hukum itu tidak bisa dilepaskan dari formalisme
hukum (2000:26). Formalisme hukum ini amat memengaruhi pemahaman hukum dan
administrasi praktis masalah keadilan. Keprihatinan utamanya pada bentuk luar
hukum, artinya hanya sejauh hukum itu tertulis. Lalu kurang memerhatikan jiwa
atau substansi hukum. Akibatnya, ada kecenderungan menafsirkan hukum sebagai
sistem tertutup. Penafsiran melulu masalah intern bidang hukum. Cara penafsiran
ini menganggap faktor-faktor sosial lain tidak relevan. Seakan sistem hukum
dapat dideduksi dari semacam aksioma. Lalu kekeliruan peradilan mirip kesalahan
dalam menjumlah angka.

Obsesi pada kepastian hukum ini membawa ke literalisme dengan mengorbankan jiwa
hukum. Mengikuti aturan demi aturan berarti menyingkirkan rasa keadilan dalam
menilai kasus-kasus khusus. Padahal, kekhasan suatu kasus justru harus
ditemukan dalam substansi situasi konkret kasus itu, bukan dalam aturan-aturan
formal yang seolah bisa disesuaikan dengan kasus. Lalu yang terjadi semacam
proses mekanisasi yurisprudensi dalam bentuk mencari aturan yang dapat
diterapkan agar mampu memberi jawaban yang tepat. Mengutip Holmes (2000:27),
Tebbit menyatakan, akar seluruh prosedur adalah penilaian di balik penalarannya
yang sering tidak terungkap dan tanpa disadari. Artinya, penilaian pribadi yang
mendahului ketetapan hukum, suatu penilaian sebelum proses penalaran.

Menggeser fokus logika hukum

Faktor yang sebenarnya memengaruhi adalah pra-penalaran penilaian, khususnya
hal-hal yang terkait kebijakan sosial. Maka, upaya yang perlu dilakukan adalah
mengangkat ke permukaan atau membuat tersurat argumen yang disembunyikan
rasionalisasi logis penilaian itu. Caranya, menggeser fokus dari studi tentang
logika hukum ke studi tentang faktor-faktor yang eksplisit dan yang tidak
disadari padahal justru paling berpengaruh dalam menyeleksi kesimpulan hakim
dan keputusannya. Faktor-faktor itu adalah politik, sosial, ekonomi/uang, dan
pribadi (2000:29). Banyak kasus korupsi yang akhirnya ditentukan oleh
pertimbangan politik. Pertimbangan ekonomi dan uang, banyak memengaruhi putusan
hakim atas kasus hukum. Aneka keputusan itu mengabaikan rasa keadilan di
masyarakat.

Acuan ke sumber hukum (UU, yurisprudensi, hukum internasional) dalam praktik
kalah menentukan dibanding faktor politik, sosial, ekonomi, dan pribadi.
Keadilan tidak bisa dilepaskan dari penilaian moral individu riil hakim.
Sedangkan pertimbangan logika hukum formal biasanya hanya untuk mengecek dan
mendukung keputusan (2000:33). Maka, faktor-faktor itu, karena amat riil, akan
amat memengaruhi. Jadi, pokok persoalannya terletak pada penyembunyian dasar
pertimbangan yang sebenarnya oleh mitos kepastian hukum dan pretensi yang mau
menunjukkan keputusan hakim adalah hasil penyimpulan logika hukum formal.

Agar faktor-faktor yang menentukan pertimbangan keputusan hakim itu tidak
memberi kesan di luar hukum formal, lalu dikemas dengan argumen prosedural
hukum, diselipkan dalam masalah fakta hukum atau penerapan dasar hukum. Itu
sebabnya seorang politikus bisa lolos dari sanksi hukum karena majelis hakim
kasus itu "tidak melihat fakta hukum, tetapi penerapan dasar hukum. Ternyata,
berdasar doktrin penerapannya tidak benar" (Kompas, 3/12/2005).

Wajar bila muncul kecurigaan, pertimbangan dari luar hukum (politik, ekonomi,
atau kebijakan sosial) lebih menentukan. Vitalitas hukum akan terjamin bila
masuknya pertimbangan dari luar hukum dibuat eksplisit dan legitim (2000:33).
Orientasinya bukan mengacu ke belakang kepada keputusan masa lalu, tetapi ke
depan untuk mendorong kejujuran akan tujuan-tujuan sosial peradilan.